Nasib Buruh Nanti
Selalu mengeluh dan jenuh akan pekerjaan yang sedang dilakukan, bukan berarti tanda ingin menyerah dengan keadaan. Itu hanya sebagai suatu ungkapan yang mungkin tak akan ada yang mendengarkan.
Merasa lelah dengan bayaran yang kadang tak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, itu adalah hal biasa untuk kami para buruh. Rasanya selalu ingin mengeluh, namun aku sadar bahwa aku masih butuh.
Perkenalkan namaku Zia, aku adalah seorang buruh pabrik. Aku tinggal bersama ibu dan adikku, ayah sudah meninggal sejak lama. Aku menggantikan ayah menjadi tulang punggung keluarga, satu-satunya yang menjadi harapan untuk kami tetap hidup.
Aku bekerja di salah satu perusahaan industri. Menjadi buruh adalah satu-satunya mata pencaharianku. Mendengar perkataan dari atasan yang menyakitkan, itu hal yang biasa setiap harinya. Bentakan dan teriakan selalu ku terima, meski dengan sedikit air mata. Karena jikalau bukan karena keluarga aku tak akan memilih ini sebagai jalannya.
Menangis? Haha, rasanya tidak pernah aku menangis di perusahaan. Tapi, bukan berarti aku tak pernah menangis saat perjalanan pulang kan?
"Nak, sudah pulang? Loh matamu kenapa lagi? Kamu baik-baik aja kan, nak?" Ucap ibu dengan raut wajah yang khawatir.
"Oh, engga bu. Ini? Biasalah bu kelilipan hehe lupa bawa kacamata," jawabku dengan berbohong.
Aku langsung pergi ke kamarku, rasanya sangat sesak jika ibu bertanya apa aku baik-baik saja atau tidak. Aku membuka tas ku, ku genggam map cokelat ditangan. Map yang berisi surat yang paling kutakuti selama ini akhirnya berada ditanganku.
Kubaca berulang kali, surat yang berada dalam coklat map itu. Surat keterangan PHK, membacanya saja sudah membuatku marah dan sedih. Aku selalu bisa menerima gaji yang kurang dari perusahaan ku, namun aku tidak bisa menerima surat ini.
"Aku harus cari kerja dimana lagi? Memangnya ada yang mau nerima aku yang hanya lulusan SMP saja?" Batinku, Memikirkannya saja sudah sangat pusing. Aku tertidur sampai pagi dengan map cokelat di tanganku.
Arunika menerobos masuk kedalam kamarku, alarm yang biasa ku pakai untuk membangunkanku pun berbunyi. Map cokelat masih ditanganku dengan keadaan tertutup, aku sedikit tenang karena belum ada yang membacanya. Aku melihat pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka.
Namun pandanganku teralihkan pada satu pemandangan yang membuatku seperti gagal menjadi sesosok tulang punggung keluarga.
Reya, adikku yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP tengah menangis pada pangkuan ibuku.
"Reya gak mau sekolah, percuma bu. Reya gaknbisa ikut ujian karena belum bayar tunggakan," ucapnya sembari tersedu-sedu
"Sekolah dulu ya,nak. Nanti ibu yang bilang pada gurumu" ucap ibu menenangkan adikku.
"Ibu mau bilang apa? Ibu memang bisa bayar tunggakannya?" tanya Reya, ibu hanya terdiam sembari mengelus punggung Reya.
Aku berjalan ingin menghampiri ibu dan Reya, namun perkataan Reya selanjutnya membuatku sangat terkejut.
"Ibu bayar pake apa? Kakak udah kena PHK, untuk makan saja kita pas-pasan bu. Reya mau bantu kakak kerja aja. Reya mau berhenti sekolah" ucap Reya
Reya sudah mengetahui aku di PHK, aku lupa bahwa semalam aku belum sempat memasukan surat itu ke dalam map coklat. Dan kemungkinan Reya membacanya. Pantas saja ibu tidak membangunkanku tadi pagi.
Aku sedikit marah mendengar Reya mengatakan ingin berhenti sekolah, hanya untuk membantuku.
"Reya!" Bentakku, "Berhenti sekolah? Memangnya kamu pikir mencari pekerjaan itu mudah? Aku saja yang lulusan SMP masih sulit untuk menemukan pekerjaan Re," ucapku memarahi Reya.
"Ya, justru itu aku mau bantu kakak buat cari uang. Aku kuat kok buat kerja apapun kak" ucap Reya dengan keras kepalanya.
"Kamu pikir dengan kamu punya tenaga, kamu bisa kerja? Kamu harus punya otak juga Re untuk kerja. Sekarang zaman udah berkembang, semua gak bisa kamu kerjain dengan tenaga aja. Itu karena kita udah ada dalam transformasi digital. Mesin menggatikan posisi manusia sebagai pekerja dan manusia yang mengendalikan semuanya bukan memperkerjakannya lagi." ucapku
"Itu sebabnya kakak di PHK? Posisi kakak udah digantikan mesin?" Tanya Reya
Aku hanya mengangguk saja, aku merasa bodoh sekali karena tidak mampu mengembangkan pelatihan dan pengetahuan tentang teknologi. Aku tidak ingin Reya sama sepertiku yang tidak mampu bersaing dengan mesin buatan manusia.
Pikiran Reya tentang pekerjaan masih sangat labil, dulu pikiranku pun sama sepertinya. Aku hanya memikirkan cara mencari uang tanpa mempedulikan pengetahuan.
Ini adalah salah satu penyesalanku, aku salah. Aku hanya terus bekerja tanpa memikirkan dan mencari tahu tentang perkembangan teknologi. Aku mulai khawatir pada orang yang terkena PHK sama sepertiku, aku mulai bertanya lalu bagaimana nasib para buruh indonesia 2024 nanti jika tidak mampu bersaing? Mungkin tingkat pengangguran akan semakin meningkat.
Komentar
Posting Komentar