War Is Over - chapter 3

Dua tahun setelah kelulusan, Fio pergi merantau ke luar kota untuk melanjutkan pendidikannya. Banyak sih perguruan tinggi yang bagus di kotanya, hanya saja dia ingin pergi sedikit lebih jauh. 

Sudah dua tahun lebih Fio menetap di kota ini, tapi tetap saja belum terbiasa dengan suasananya yang sangat panas dan jalanan yang selalu macet tiap hari. Betah sih, cuma masih belum terbiasa saja. Kota ini sangat nyaman, dekat dengan sarana apapun baik itu perbelanjaan maupun sarana lainnya. Tapi ya senyaman-nyamannya kota baru tetap saja pemenangnya kota lama. 

"Ck ah sial! Kenapa harus telat lagi sih, ah ini gara-gara Asel yang terus mengirimkan film bagus" dumelnya dengan suara yang ngos-ngosan.

"Duh... hari ini apes banget! Mana sekarang ada kelas lagi, mana macet. Mau naik ojol hp nya malah ketinggalan. Balik lagi ga ya? Tapi pasti bakal makin telat" gumamnya. "Ah jalan aja dulu deh, siapa tau di depan ada ojek" lanjutnya.

Fio berjalan ditrotoar dan menyusuri jalanan yang sangat macet, mungkin saking macetnya bahkan kendaraan pun sama sekali tidak bergerak. 

"Wih gila, macet apaan nih sampai begini?" Tanyanya sendiri.

Sudah berjalan hampir setengah jam tapi tetap saja dia tidak menemukan ojek atau angkutan umum sekalipun. Merasa kelelahan akhirnya Fio berhenti dan duduk di persimpangan jalan, tempat biasa jika orang-orang akan naik angkutan umum.

"Nungguin apa mba?" Tanya seorang bapak-bapak yang juga sedang duduk juga.

"Ini pak kok tumben banget sih engga ada angkutan umum ya?" Tanya Fio.

"Iya mba, soalnya lagi pada demo. Biasalah pada mogok narik" jawab bapak-bapak tersebut. 

"Oalah, pantesan aja dari tadi engga ada angkutan umum." Ujar Fio dengan sedikit kesal. 

"Iya mba. Paling masih jauh didepan sana mba, baru ada." 

"Ohiya pak, makasih ya. Saya duluan ya pak takut telat. Permisi pak" ucap Fio dengan tersenyum ramah. Takut telat? Ah padahal memang sudah telat juga.

Fio melanjutkan perjalanannya dengan pasrah, kini jalannya pelan tidak seperti tadi. Ya karena sudah telat juga dan perjalanan pun masih cukup lumayan. Sekalian saja dia tidak ikut kelas. Dia mengeluarkan earphone miliknya, menikmati perjalanan dengan musik dan pemandangan macet kota.

Tin...tin...tin...

Suara klakson terdengar begitu keras, Fio yang mendengarnya pun sudah sakit telinga. Siapa sih yang membunyikan klakson, tidak melihat jalanan macet? Dasar manusia tidak sabaran! 

"Hey syut" panggilnya.

Apa-apaan ini? Sudah tidak sabaran, sekarang malah melakukan cat calling. Memang manusia tidak tau diri. Orang itu terus saja memanggil Fio dengan sahutan-sahutan yang membuat Fio risih. Tidak hanya itu, dia juga terus mengklakson motornya.

Fio berhenti dan benar saja motor itu berhenti tepat di sampingnya. 

"Mau ikut?" Tanya orang itu. 

Fio menaikan sebelah alisnya, makin yakin bahwa orang ini memang sedang modus. Hmm, tidak heran sih kejadian ini sering terjadi di kota- kota besar. Gadis yang bahkan menjaga pakaiannya saja sering mendapat godaan.

"Gak mas, makasih" tolak Fio mencoba berbicara dengan setenang mungkin. Orang itu terus saja mengikuti Fio.

"Mas saya bilang kan gak mau. Kenapa mas nya ngikutin mulu sih?" Tanya Fio dengan nada kesal dan tinggi.

"Macet loh, biar cepet nyampe. Jauh tau" ucap dia.

"GA! SAYA UDAH PERINGATIN YA MAS JANGAN IKUTIN SAYA TERUS" ucap Fio, dia pergi meninggalkan pria itu. 

"BOCIL GAK BOLEH JALAN SENDIRI, NANTI DICULIK" teriak pria tersebut yang berhasil menghentikan langkah Fio.

Bocil? Sial, panggilan itu. Sudah lama tidak pernah dia dengar lagi ditelinganya. Pria tersebut kemudian maju dan sejajar dengan Fio, dia tertawa kecil dan membuka helmnya. Senyumnya yang terukir diwajah pria itu adalah senyuman yang dua tahun lalu dia lihat.

Abin. 

Tak pernah terbayangkan oleh Fio, dia berada disini. Kenapa? Kenapa harus bertemu dengan orang yang kita berusaha menjauhinya. Takdir memang lucu. Munafik jika Fio tidak bahagia bertemu Abin, meski bibirnya berbicara dia tidak bahagia tapi hatinya menangkis itu semua.

"Hey! Mau naik gak? Nanti telat loh" ucap Abin. Fio tersadar dari lamunannya. Dia kemudian naik motor bersama Abin, selama perjalanan tidak ada yang membuka suara jika Abin tidak bertanya. Ntah sedang salting atau asing, keduanya hanya diam saja.

"Kamu sendiri disini?" Tanya Fio memberanikan diri.

"Engga, berdua" ucap Abin.

"Oooh" ucap Fio. Dia sudah tau jawabannya, pasti Abin bersama Bintang. Kekasihnya yang dulu.

"Sama malaikat" ucap Abin.

"Ck serius" ucap Fio memukuk bahu Abin.

"Percaya gak? Kalau percaya ya silahkan terima. Kalo ngga, ya fak bakal maksa" ucap Abin.

Abin mengantarkan Fio ke kampusnya, dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sebenarnya banyak hal yang ia ingin tanyakan pada Abin, namun kenapa mulutnya sangat sulit untuk mengelurkan sepatah katapun.

"Bisa kita bertemu lagi?" Tanya Fio dengan tiba-tiba.

Abin nampak berpikir, kemudian dia menganggukan kepalanya. 

"Besok jam 9" ucap Abin dan diangguki oleh Fio.

Setelah kejadian itu, perlahan-lahan senyuman Fio terus saja berkembang. Mungkin orang-orang yang melihat akan menyebut dirinya gila.

Keesokannya Fio dan Abin bertemu jam 9 ditempat yang sama kemarin, ketika mereka bertemu setelah dua tahun lebih. Anehnya mereka tidak mengatakan akan bertemu dimana, tapi kenapa bisa cocok sekali.

"Mau kemana Cil?" Tanya Abin dengan tawanya.

"Gak tau, gak ada tujuan" balas Fio.

"Ikut om aja yu" canda Abin, kemudian Fio mengangguk dan segera menaiki motor Abin.

Kali ini disepanjang perjalanan Fio sudah banyak memulai berbicara. Abin mulai menetap di kota ini pada satu tahun yang lalu untuk bekerja dan kuliah, dia juga bilang bahwa sering melihat Fio dikejauhan jika ingin pergi bekerja, tapi tak berani untuk memanggilnya. 

Hari demi hari telah berlalu, Fio merasakan dirinya seperti Fio SMA. Mereka selalu bertemu baik disengaja maupun tidak sengaja, hampir setiap hari kecuali hari jum'at. Fio juga sering mengunjungi tempat coffe shop milik Abin. Selain tempat dan kopinya yang nyaman, tentunya karena itu Abin. 

Dia datang tanpa memberitahu Abin terlebih dahulu. Namun ternyata kosong, tidak ada siapapun. Kemana Abin? Padahal cafenya buka tapi orangnya tidak ada. Fio menunggu sembari memainkan ponselnya.

"Fi? Udah lama nunggu?" Tanya Farel, salah satu barista sekaligus teman Abin.

"Eh, lumayan sih. Tumben sepi yang lainnya kemana?" Tanya Fio.

"Ada di belakang" jawab Farel. Terdengar suara anak kecil sedang menangis, Farel pun berjalan ke belakang dan disusuli Fio.

Terlihat yang lain sedang mencoba menghibur anak kecil itu, tapi tetap saja menangis. Fio yang melihatnya kemudian menghampiri dan ikut mencoba menenangkannya. Sihir apa yang Fio gunakan sampai dia diam dan berhenti menangis?

Tapi sayang sekali itu tak berlangsung lama, dia kembali menangis. Pantas saja sepi, ternyata mereka sedang menenangkan satu costumer yang sedikit rewel. Mereka kewalahan menghadapi anak kecil yang menangis.

Fio melihat Abin dan segera menghampirinya.
"Abin itu ada anak kecil nangis terus" ucap Fio.

"Anak kecil?" Tanya Abin dan diangguki oleh Fio.

Abin dan Fio segera ke belakang, melihat anak kecil itu terus saja melemparkan mainannya. Abin berjalan mendekat dan segera menggendong anak itu, namun bukannya tenang malah menjerit dan mencakar-cakar Abin.

Fio kemudian menghampiri dan mengusap lembut punggung anak itu yang sedang digendong oleh Abin. Perlahan anak itu semakin tenang dan menyender ke bahu Abin. Fio dan Abin saling melirik dan tersenyum.

"Jangan nakal" ucap Abin pada anak itu.

"Heh! Dia gak nakal tau, cuma lagi kesel kayanya" bantah Fio dan membuat Abin tersenyum tipis.

"Anak selucu ini masa dibilang nakal sih, nama kamu siapa sayang?" Tanya Fio.

"Albin." Ucap Abin.

"Nama yang keren, seperti anaknya" ucal Fio.

"Anakku gak pernah gagal" ucap Abin tersenyum pada anak kecil itu.

"Pa...paa" panggil anak kecil itu dan memeluk Abin.

Fio yang sendari tadi tersenyum, perlahan senyumnya langsung memudar ketika mendengar ucapan anak itu. Tunggu. Dia tidak salah dengar kan? Papa? Abin? 

Hah? Hahahaha komedi macam apalagi ini? Selalu saja ada hal yang tidak terduga dalam hidup Fio. Dia terdiam membeku, masih belum percaya dengan kata yang dia dengar. 














Komentar

  1. Walah, ada kejutan baru, nih. Abin sudah jadi Papa?
    Mesti baca kelanjutannya, nih. Keren ceritanya, Kak!

    BalasHapus
  2. Wah, jadi penasaran dengan kelanjutannya kak. Terutama endingnya, duh duh.

    BalasHapus
  3. Awalnya aku kira Fio itu cowok. Terus tak kira dia ga mau dibonceng ke kampus, ternyata luluh jg dan bsknya ngajak ketemu. Tp endingnya lbh mengagetkan lg

    BalasHapus
  4. Penuh kejutan banget, penasaran sama nama panjang fio

    BalasHapus
  5. Mungkin tadinya Flo menyimpan harapan, namun kenyataan sungguh mengejutkan

    BalasHapus
  6. Mungkin tadinya Flo menyimpan harapan, namun kenyataan yang dihadapi sangat mengejutkan

    BalasHapus
  7. Cerita seru, pengen baca kelanjutannya.

    BalasHapus
  8. Endingnya enggak ketebak. Apa kabar perasaannya Fio?

    BalasHapus
  9. Kaget dan sakit hati pasti Fio. Tiba-tiba ada anak yang panggil Abin Papa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer