First Love


Kata orang cinta pertama itu sulit dilupakan, dan ternyata memang benar. Mau sebaik apapun orang mencintai kita, pasti cinta pertamalah tetap pemenangnya. Karena cinta pertama itu adalah orang yang buat kita takut kehilangan. 

Tapi ini bukan soal teman pria, ini adalah tentang sosok ayah. Yeah, he is my first love. Sosok yang selalu ku kagumi selama ini, cinta pertama yang mengajarkan betapa beruntungnya aku menjadi putri kecil untuknya. 

Sudah berbulan-bulan aku tidak pulang ke rumah yang sebenarnya. Aku sangat merindukan sosok yang membuatku bertahan hingga sampai ini. Keberuntungan sedang berpihak padaku saat ini, akhirnya aku mendapatkan libur selama satu minggu dan tak berpikir panjang aku langsung memesan tiket ke Bandung.

Perjalanan dari Jakarta-Bandung sangat melelahkan, namun semua lelah terbayarkan ketika aku melihat ayah dan bunda yang menyambutku dengan senyuman. Sudah lama tidak bertemu dengan cinta pertamaku ini, ketika melihatnya banyak hal yang ingin diceritakan pada ayah terutama tentang perasaan ku yang menganggap dunia selalu tidak berpihak padaku.

Aku dan ayah duduk santai di teras rumah sembari menikmati pemandangan sore hari kota Bandung, ditemani dengan secangkir kopi dan teh hangat membuat percakapan seorang putri kecil dan sang pahlawannya terasa sempurna.


"Yah, ternyata dunia tidak seindah apa yang aku bayangkan ketika kecil ya, tidak sebaik seperti ayah memperlakukanku. Dulu aku menangis karena orang menjahatiku, apakah sekarang aku boleh menangis karena hal itu lagi?" Tanyaku melirik pada ayah.

Ayah hanya tersenyum dan tidak banyak bicara. Dia langsung memeluk dan mengusap rambutku, percis ketika dulu aku sedang menangis. Jujur saja rasanya sangat bahagia, aku kembali menjadi putri kecilnya lagi dan pikiran yang selalu menghantuiku seakan sirna di pelukan ayah. 

"Makasih yah. Aku sayang banget sama ayah. Disaat aku terluka karena laki-laki lain, ayah selalu jadi plester untukku. Ternyata benar ya hati ayah gak bakal pernah aku temuin di laki-laki manapun" ucapku sembari melepaskan pelukan.

"Ayah yakin kamu akan menemukan laki-laki yang cintanya setulus ayah. Ayah selalu berharap semoga kelak suatu saat kamu akan berbahagia dengannya, dan dia tulus menjaga mu seperti ayah menjagamu. " ucap ayah sembari meminum kopinya. Matanya menatap ke depan ntah apa yang sedang ia pikirkan namun seperti tatapan kekhawatiran.

"Yah, gimana kalau nanti aku nikah? Ayah bakal kangen aku gak?" Tanyaku pada Ayah.

Seketika ayah langsung menatapku dan tersenyum, "ya kangen dong" jawabnya sembari mengelus cangkir kopi yang baru ia minum setengah. 

"Eum...terus kalo aku nikah, ayah bakal sedih atau bahagia? Maksud aku, nanti aku bakal punya suami terus 

"Nak, kesedihan terbesar seorang ayah adalah saat ia melepaskan putri yang selama ini ia jaga untuk hidup bersama pria lain. Tapi nak, kamu harus tau bahwa kebahagiaan terbesar seorang ayah ketika ia bisa berjabat tangan dengan pria yang akan hidup bersama dengan putrinya dihadapan para saksi." ucap ayah panjang lebar.

Sejenak aku tertegun atas ucapan ayahku, aku melihat ia tersenyum dengan matanya yang mulai memerah. Aku tau ayah ingin menangis, aku sangat tau akan hal itu. Aku memeluk ayah, membayangkannya saja sudah membuat ku menangis dan tidak ingin jauh dari ayah apalagi jika nanti sudah terjadi. 

"Yah, apa aku masih menjadi gadis kecilmu?" Tanyaku secara tiba-tiba.

"Akan tetap seperti itu, nak" jawabnya. "Meski aku sudah menikah dan punya anak?" Tanyaku kembali.

Ayah mengelus rambutku lembut, "mungkin nanti ayah akan punya dua gadis kecil" ucapnya sembari tertawa. 

Aku pun ikut tertawa, "kalau anakku perempuan yah. Kalau laki-laki gimana? Masa ayah panggil gadis sih" ucapku dengan berlaga kesal.

"Ya berarti ayah punya satu gadis kecil dan satu pangeran kecil, kalau begitu" jawab ayah. 

Tidak terasa sudah hampir seminggu di rumah tapi rasanya seperti baru sehari saja. Hari itu rasanya waktu berlalu begitu cepat, percakapan yang singkat namun bermakna. Ini adalah malam terakhir aku di rumah, aku harus bersiap untuk kembali ke Jakarta esoknya. Jika bukan karena demi orang tua dan impianku, mungkin aku akan memilih menetap disini dari pada kembali ke kehidupan nyata di jakarta. 

Aku masih bisa tertawa, tapi tidak tahu jika nanti, setelah aku meninggalkan rumah ini, tangis ku akan mulai pecah. Apalagi ketika aku melihat sosok yang berbahagia menyambutku datang dan bersedih mengantarku pulang. 

Komentar

Postingan Populer