Bertahan Demi Masa Depan
Perkenalkan namaku adalah abel, salah satu murid beasiswa di Sekolah swasta yang terkenal di daerahku. Pikiran kehidupanku tentang bisa bersekolah di Sekolah impianku sangat indah, bahkan saking indahnya pikiranku sampai aku lupa dengan sisi gelap sekolahku.
Sekolah yang terkenal ini sangat menyimpan sisi buruknya dengan rapih, sangat kurang beruntung kenapa aku yang harus tahu tentang sisi buruk sekolah ku dan kenapa malah aku yang menjadi korbannya?
Sudah 1 tahun setengah aku bertahan disini, bertahan dari perlakuan buruk kaka kelasku yang selalu membully anak baru yang mereka anggap sebagai saingan. Kejadian aku dengan kakak kelasku dimulai ketika aku yang saat itu notabennya sebagai anak baru, pernah disukai oleh pria yang saat itu menjadi pacar kakak kelasku.
Semuanya terjadi kesalahpahaman, mau seberapa jelas aku menceritakan kejadian sebenarnya kaka kelasku tidak akan pernah percaya. Saat itu aku telah di tetapkan sebagai korban selanjutnya dari kaka kelasku. Hari-hari aku selalu mendapat perlakuan buruk dari mereka. Aku sampai bingung harus pakai cara apalagi untuk berbohong pada ibu atas luka yang ada di tubuhku?
Bodoh! Aku tau kala itu aku bodoh. Tapi aku tak mempermasalahkannya, ketakutan ku saat itu bukan pada seniorku melainkan ibuku. Aku takut ibu tau karena semakin hari rambutku semakin tipis. Aku takut ibu khawatir jika mengetahui semuanya. Aku takut ibu menangis karena tidak ada yang membantu membela putrinya. Aku takut jika ibu merasa bersalah.
Seniorku yang mendengar ucapanku pun langsung tertawa terbahak-bahak, mereka berhenti menjambak rambutku. Hatiku sedikit tenang namun bukan karena mereka akan melepaskanku, melainkan mereka berhenti menjambak rambutku. Aku tau percis sifat mereka seperti apa, seperti tipe orang yang tidak akan berhenti jika belum mati.
Sret
Lagi. Mereka menjambakku lagi, kali ini begitu kasar dari sebelumnya.
"Kenapa hah? Takut rambut lu gak bisa dipake buat caper lagi ya?" Teriak Iren yang ikut menjambak rambutku juga.
"B-bukan kak, tolong lepasin aku kak. Bentar lagi aku masuk jam pelajaran, aku gak bisa bolos lagi. Kali ini aja kak tolong lepasin" ucapku dengan memohon.
Naya melepaskan cengkramannya dari rambutku, "sekali lagi gue liat lu caper. Abis lu!" Peringatnya, aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan saja. Sakit sekali, rambutku sakit bahkan aku tidak bisa mengadu kepada siapapun.
Aku berjalan menuju arah kamar mandi dengan air mata yang tidak bisa terbendung lagi, air mata itu turun begitu saja. sebelumnya aku melihat jennie yang berjalan hendak ke kamar mandi, namun ia malah melihat ku balik dengan di kerumuni banyak orang dan langsung bertanya,"loh Nay kenapa disini? Abel jga kenapa tumben bisa diajak kesini?" Tanya Jennie pada Naya.
Naya sedikit berbincang dengan Jennie, Aku melihat ekpresi anak nakal yang bolos dengan sengaja. Ruginya. Jika saja aku punya banyak uang pasti aku akan bisa tetawa juga. Pasti aku sudah menentang tindakan mereka yang sangat merugikanku.
Aku ingin membrontak tapi aku selalu teringat ucapan ibu, "nak, sekolah yang bener ya. Janji sama ibu kamu akan semangat untuk sekolah, karena kelak nanti kamulah satu-satunya yang jadi kebanggaan ibu. Satu hal yang ibu pesan, jaga diri kamu baik-baik ya jangan buat ribut dengan orang karena kita gak punya uang buat selesaiinnya."
Ucapannya selalu terngiang-ngiang, ibu benar. Aku tidak punya banyak uang untuk selesaiin masalahnya, maka tidak heran aku hanya bisa mengelus dada ketika aku di bully. Mungkin kalian akan berpikir aku bodoh kenapa tidak melaporkan kasus macam ini? Hahaha...
Apa kalian serius berpikir aku hanya diam saja saat pertama kali dibully? Aku melaporkannya, namun apa? Kebenaran akan selalu kalah dengan sogokan. Malah aku di ancam akan dicabut beasiswa jika sampai berani membocorkan masalah ini kepada pihak luar.
Aku hanya bisa menangis mendengar ketidak adilan ini. Saat itu aku hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjaga senyuman ibu. Aku tidak memberitahu ibu karena aku tahu bahwa ibu pasti akan merasa khawatir, dan mungkin saja impiannya melihat aku bisa bersekolah sampai lulus akan sirna.
Mungkin aku bisa sedikit bertahan lagi dengan sedikit kemungkinan keadaan mental masih sehat. Ntah sudah berapa kasus yang sekolahku tutupi hanya demi citra baiknya tetap terjaga.
"Udah lah Nay, kasian Abel. Mau sampai kapan sih bully dia terus? Biarin dia sekolah belajar terus lulus." Ucap Jennie yang mencoba membelaku.
"Aduh Jen udah lu pergi aja sana. Gue kira lu mau bantu buat dia menderita. Lu sekarang aneh banget tau, dulu lu selalu bantu gue" ucap Naya
"Nay! Lu gak inget dulu? Hampir aja Nay hampir lu bunuh siswi itu" ucap Jennie dengan nada yang sudah kesal.
Apa? Bunuh? Jadi ternyata sudah banyak korban selain aku?
"JENNIE!!! PERGI LU" usir Naya dengan nada yang marah dan tinggi.
"Lu juga pergi sana. Buruan! Sebelum gue berubah pikiran" ucap Naya padaku.
Aku langsung pergi secepat mungkin dari tempat itu, aku masih teringat atas ucapan yang kak Jennie katakan tadi? Bagaimana bisa kak Naya tidak mendapat hukuman atas perbuatan yang dia lakukan sampai akan membunuh seseorang. Ah namun aku lupa, dia kan punya banyak uang. Sekolah pun akan membelanya jika dia sudah mengeluarkan uangnya, tinggal menyuruh diam saja lalu sekolah akan bungkam seolah tidak terjadi apa-apa.
Komentar
Posting Komentar